A. PENDAHULUAN
Mempelajari sejarah keperawatan akan memberikan
kebanggaan tersendiri, karena bisa mengingatkan kita pada perawat di masa lalu
yang telah bekerja keras, hingga akhirnya kita bisa merasakan hasilnya seperti
sekarang ini. Sejarah keperawatan akan membuka mata kita tentang bagaimana
perkembangan keperawatan, bagaimana tantangan yang dihadapi dan apa yang akan
dicapai oleh keperawatan di masa datang. Mengetahui masa lalu dan memahami
keperawatan terdahulu akan memberikan suatu kesempatan untuk menggunakan
pengalaman dan pelajaran yang dapat digunakan di masa kini dan masa depan.
Lahirnya
keperawatan dapat dikatakan bersamaan dengan penciptaan manusia, yaitu
penciptaan Adam dan Hawa. Keperawatan lahir sebagai bentuk keinginan untuk
menjaga seseorang tetap sehat dan memberikan rasa nyaman, pelayanan dan
keamanan bagi orang yang sakit. Walaupun secara umum tujuan keperawatan relatif
sama dari tahun ke tahun, praktik keperawatan dipengaruhi oleh perubahan
kebutuhan masyarakat, sehingga keperawatan berkembang secara bertahap.
Keperawatan yang kita ketahui saat ini tidak dapat dipisahkan dan sangat
dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradapan manusia.
Kepercayaan terhadap animisme,
penyebaran agama besar di dunia serta kondisi sosial ekonomi masyarakat,
seperti terjadinya perang, renaissance
serta gerakan revolusi Luther turut mewarnai perkembangan keperawatan di dunia.
Pada awal sejarahnya, keperawatan dikenal sebagai bentuk pelayanan komunitas
dan pembentukannya berkaitan erat dengan dorongan alami untuk melayani dan
melindungi keluarga (Donahue, 1995). Umur keperawatan sama tuanya dengan
kedokteran. Sepanjang sejarah, profesi keperawatan dan kedokteran saling
bergantung satu sama lain. Selama era Hipokrates, kedokteran bekerja tanpa
perawat dan selama abad pertengahan, keperawatan bekerja tanpa dukungan medis (Donahue,
1995; Deloughery, 1995). Menurut sejarah, laki-laki dan perempuan telah
memegang peran perawat, masuknya perempuan dalam keperawatan dimulai sekitar
300 M (Shryock, 1959; Donahue, 1995). Pada abad keenam jumlah laki-laki yang
memasuki dunia keperawatan semakin meningkat.
B. KEPERAWATAN ZAMAN PURBA
Menggambarkan keperawatan pada zaman
primitive merupakan hal yang sulit,
juga sulit untuk membedakan peran dokter dan perawat. Pada masa itu, perawatan
dan penyembuhan penyakit diperoleh dari penyebaran dari mulut ke mulut. Peran wanita tradisional sebagai
istri, ibu, anak perempuan dan saudara perempuan selalu mencakup perawatan dan
pengasuhan anggota keluarga yang lainnya. Istilah perawat (nurse) berasal dari
perawatan yang diberikan ibu kepada bayinya yang tidak berdaya.
Pada
zaman purba (primitive culture),
manusia percaya bahwa apa yang ada di bumi mempunyai kekuatan mistik/spiritual
yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini disebut animisme.
Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan oleh kekuatan alam atau
pengaruh kekuatan gaib seperti batu-batu besar, gunung-gunung yang tinggi, pohon-pohon yang besar,
sungai-sungai yang besar, dll. Pada saat itu peran perawat tidak berkembang,
masyarakat pada masa itu lebih senang pergi ke dukun untuk mengobatkan anggota
keluarganya yang sakit. Masyarakat menganggap bahwa dukun lebih mampu mencari,
mengetahui dan mengatasi roh yang masuk ke tubuh orang yang sakit.
Fenomena animisme terlihat pada sejarah Bangsa Mesir dan Cina. Pada masa
itu bangsa Mesir menyembah Dewa Isis, Dewa yang diyakini bisa menyembuhkan
penyakit. Masyarakat Cina menganggap penyakit disebabkan oleh syetan atau
makhluk halus dan akan bertambah parah jika orang lain memegang orang yang
sakit, akibatnya perawat tidak diperkenankan untuk merawat orang yang sakit.
C.
ZAMAN PERADAPAN KUNO
Pada masa ini, keyakinan mengenai penyebab
penyakit masih mirip dengan zaman primitif, yaitu didasarkan pada takhayul dan
magis, sehingga penyembuhan membutuhkan penyembuhan magis. Pendeta atau dokter
penyihir menikmati status dalam masyarakat kuno. Sejalan dengan perkembangan
peradapan, teori praktis perawatan medis yang muncul sebagai penyebab penyakit
non-medis mulai terobservasi. Catatan tertua mengenai praktik penyembuhan ada
pada lembaran tanah liat berusia 4000 tahun yang dihubungkan dengan peradapan
Sumeria. Lembaran ini berisi tentang resep obat, tetapi tidak dituliskan untuk
mengatasi penyakit apa.
Lontar
Eber merupakan temuan kebudayaan Mesir. Lontar ini tertanggal sekitar tahun
1550 SM, dan dipercayai sebagai teks medis tertua di dunia. Lontar ini berisi
uraian tentang banyak penyakit yang diketahui saat ini dan mengidentifikasi
gejala spesifik. lontar Eber juga berisi 700 zat yang digunakan untuk
obat-obatan disertai cara penyiapan dan penggunaannya. Mumifikasi atau
pembalseman juga muncul pada masa ini, mumifikasi berasal dari keyakinan bahwa
ada kehidupan setelah kematian. Dibutuhkan ilmu dan pengetahuan untuk membuat
larutan yang bisa digunakan untuk mengawetkan mayat. Hal ini menunjukkan bahwa
pada masa itu sudah mengenal ilmu fisiologi, anatomi dan patofisiologi.
Bangsa
Yahudi kuno menyumbangkan Mosaic Health
Code. Kode ini dianggap sebagai
legislasi sanitari pertama dan berisi catatan pertama mengenai syarat kesehatan
masyarakat. Kode ini mencakup aspek individu, keluarga, dan kesehatan
komunitas, termasuk di dalamnya membedakan antara yang bersih dengan tidak
bersih.
Budaya
Afrika kuno, fungsi pengasuhan yang dimiliki oleh perawat termasuk peran
sebagai bidan, herbalis, ibu susu, dan pemberi perawatan untuk anak dan lansia
(Dolan, Fitzpatrick, dan Herrmann, 1983). Budaya India kuno, sudah mengenal
adanya perawat laki-laki yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
Pengetahuan mengenai cara mempersiapkan obat yang akan
diberikan
b.
Pintar
c.
Mampu mencurahkan kasih sayang ke pasien
d.
Kemurnian pikiran dan tubuh
Adapun perawat
wanita India bertindak sebagai bidan dan merawat anggota keluarga yang sakit.
Peran perawat dalam budaya Cina kurang disebutkan, namun peran Cina kuno lebih
banyak pada penemuan obat herbal, pemakaian akupunktur sebagai metode
pengobatan, dan publikasi Nei Ching (canon
of medicine), yang merinci empat langkah pemeriksaan: melihat, mendengar,
bertanya dan merasakan.
Sejarah Yunani dan Romawi kuno,
perawatan orang sakit lebih maju dalam mitologi dan realitas. Dewa mitos Yunani
yang dinggap sebagai dewa penyembuh
adalah Asklepios, istrinya Epigone adalah dewi penenang, Hygenia anak perempuan
Asklepios adalah dewi kesehatan dan diyakini sebagai perwujudan perawat. Kuil
yang dibangun untuk menghormati Asklepios menjadi pusat penyembuhan, pendeta
kuil Asklepios memberikan penyembuhan melalui pengobatan natural dan
supranatural (Donahue, 1996). Seorang dokter Yunani kuno, Hipocrates,
mempercayai bahwa penyakit memiliki penyebab alami. Pernyataan Hipocrates ini
sangat bertentangan dengan pendapat tabib pendeta di kuil yang mengatakan bahwa
penyebab penyakit adalah magis dan mistik. Sedangkan kontribusi Romawi terhadap
perawatan kesehatan adalah sanitasi umum, pengeringan rawa, dan pembangunan
saluran air, tempat pemandian umum dan pribadi, sistem drainase, dan pemanasan
sentral.
D.
ZAMAN KEAGAMAAN
Kemajuan peradapan manusia dimulai ketika manusia
mengenal agama. Penyebaran agama sangat mempengaruhi perkembangan peradaban
manusia sehingga berdampak positif terhadap perkembangan keperawatan. Pada permulaan Masehi, agama kristen mulai
berkembang. Agama kristen cukup besar mempengaruhi profesi keperawatan. Salah
satu catatan di awal sejarah digambarkan bahwa keperawatan merupakan
bentuk perintah dari Diakonia, suatu
kelompok kerja seperti perawat kesehatan masyarakat atau yang mengunjungi orang
sakit. Dalam awal kehidupan gereja, Diakonia dijalankan oleh perempuan yang
ditunjuk oleh pimpinan gereja. Peran mereka adalah mengunjungi orang yang
sedang sakit. Penunjukan dilakukan pada wanita yang memiliki status sosial yang
tinggi. Pada masa ini, keperawatan mengalami kemajuan yang berarti seiring
dengan kepesatan perkembangan agama kristen.
Kemajuan
terlihat jelas, pada masa pemerintahan Lord
Constantine, ia mendirikan xenodhoecim
atau hospes dalam bahasa latin yaitu
tempat penampungan orang yang membutuhkan pertolongan, terutama bagi
orang-orang sakit yang memerlukan pertolongan dan perawatan. Kemajuan profesi
keperawatan pada masa ini juga terlihat jelas dengan berdirinya Rumah sakit
terkenal di Roma yang bernama Monastic
Hospital. Rumah Sakit ini dilengkapi dengan fasilitas perawatan berupa
bangsal perawatan, bangsal untuk orang cacat, miskin dan yatim piatu. Sejak
abad pertengahan institusi yang bergerak dalam bidang sosial (1100 M sampai
1200 M) mulai bergerak merawat lansia, orang sakit dan orang miskin
(Deloughery, 1995).
Seperti
di Eropa, pada pertengahan abad VI masehi, keperawatan juga berkembang di benua
Asia. Tepatnya di Asia Barat Daya yaitu Timur Tengah seiring dengan perkembangan
agama Islam. Pengaruh agama Islam terhadap perkembangan keperawatan tidak lepas
dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam. Kegiatan
pelayanan keperawatan berkualiatas telah dimulai sejak seorang perawat muslim
pertama yaitu Siti Rufaidah pada jaman Nabi Muhammad S.A.W, yang selalu
berusaha memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa membedakan
apakah kliennya kaya atau miskin(Elly Nurahmah, 2001). Sementara sejarah
perawat di Eropa dan Amerika mengenal Florence Nightingale sebagai pelopor
keperawatan modern, Negara di timur tengah memberikan status ini kepada
Rufaidah, seorang perawat muslim. Talenta perjuangan dan kepahlawanan Rufaidah
secara verbal diteruskan turun temurun dari generasi ke generasi di perawat
Islam khususnya di Arab Saudi dan diteruskan ke generasi modern perawat di
Saudi dan Timur Tengah (Miller Rosser,
2006)
Prof. Dr. Omar Hasan Kasule, Sr, 1998
dalam studi Paper Presented at the 3rd International Nursing Conference
"Empowerment and Health: An Agenda for Nurses in the 21st Century"
yang diselenggarakan di Brunei Darussalam 1-4 Nopember 1998, menggambarkan
Rufaidah adalah perawat profesional pertama dimasa sejarah islam. Dia tidak
hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga
melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat
mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Saat kota Madinah berkembang,
Rufaidah mengabdikan diri merawat kaum muslim yang sakit, dan membangun tenda
di luar Masjid Nabawi saat damai. Dan saat perang Badr, Uhud, Khandaq dan
Perang Khaibar dia menjadi sukarelawan dan merawat korban yang terluka akibat
perang. Dan mendirikan Rumah sakit lapangan sehingga terkenal saat perang dan
Nabi Muhammad SAW sendiri memerintahkan korban yang terluka dirawat olehnya.
Konstribusi
Rufaidah tidak hanya merawat mereka yang terluka akibat perang. Namun juga
terlibat dalam aktifitas sosial di komuniti. Dia memberikan perhatian kepada
setiap muslim, miskin, anak yatim, atau penderita cacat mental. Dia merawat
anak yatim dan memberikan bekal pendidikan. Rufaidah digambarkan memiliki
kepribadian yang luhur dan empati sehingga memberikan pelayanan keperawatan
yang diberikan kepada pasiennya dengan baik pula. Sentuhan sisi kemanusiaan
adalah hal yang penting bagi perawat, sehingga perkembangan sisi tehnologi dan
sisi kemanusiaan (human touch) mesti
seimbang. Rufaidah juga digambarkan sebagai pemimpin dan pencetus Sekolah
Keperawatan pertama di dunia Isalam, meskipun lokasinya tidak dapat dilaporkan
(Jan, 1996), dia juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit
(preventif care) dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan (health
education)
Memasuki abad VII Masehi, agama Islam
tersebar ke berbagai pelosok negara dari Afrika, Asia Tenggara sampai Asia
Barat dan Eropa (Turki dan Spanyol).
Pada masa itu di jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan seperti ilmu
pasti, ilmu kimia, hygiene, dan obat-obatan. Prinsip-prinsip dasar perawatan
kesehatan seperti menjaga kebersihan diri (personal
hygiene), kebersihan makanan, air dan lingkungan berkembang pesat. Masa
Late to Middle Ages (1000 – 1500 M), negara-negara Arab membangun RS dengan
baik, dan mengenalkan perawatan orang sakit. Ada gambaran unik di RS yang
tersebar dalam peradaban Islam dan banyak dianut RS modern saat ini hingga
sekarang, yaitu pemisahan anatar ruang pasien laki-laki dan wanita, serta
perawat wanita merawat pasien wanita dan perawat laki-laki, hanya merawat
pasien laki-laki (Donahue, 1985, Al Osimy, 2004).
KEPERAWATAN ABAD PERTENGAHAN
Permulaan
abad XVI, struktur dan orientasi
masyarakat mengalami perubahan, dari orientasi kepada agama berubah menjadi
orientasi kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan alam serta semangat
kolonialisme. Akibat dari hal tersebut adalah banyak tempat ibadah (termasuk
gereja) yang ditutup, padahal tempat ini dijadikan tempat untuk merawat orang
sakit.
Di satu sisi, kenyataan ini berdampak
negatif. Penutupan tempat ibadah menyebabkan kekurangan tenaga perawat karena
sebelumnya, tindakan perawatan dilakukan oleh kelompok agama. Untuk memenuhi
kebutuhan perawat, bekas wanita jalanan (wanita tuna susila) atau wanita yang
bertobat setelah melakukan kejahatan diterima sebagai perawat. Kejadian ini
melatarbelakangi asumsi negatif terhadap perawat, masyarakat beranggapan bahwa
wanita terhormat tidak bekerja di luar rumah. Akibat reputasi ini perawat
diupah dengan gaji rendah dengan jam kerja lama pada kondisi kerja yang buruk
(Taylor. C.,dkk, 1989)
Di
sisi yang lain, adanya perang seperti perang Salib berdampak positif terhadap
perkembangan keperawatan. Untuk menolong korban perang dibutuhkan banyak tenaga
sukarela yang dipekerjakan sebagai perawat. Mereka terdiri dari kelompok agama,
wanita-wanita yang mengikuti suaminya ke medan perang turut merawat orang sakit
jika diperlukan dan tentara (pria) yang bertugas rangkap sebagai perawat.
Pengaruh perang salib terhadap keperawatan adalah mulainya dikenal istilah P3K
(Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan), pada masa itu keberadaan perawat mulai
dibutuhkan dalam ketentaraan dan timbul peluang kerja bagi perawat di bidang
sosial. Setelah perang Salib, kota-kota besar mulai berdiri dan berkembang
dengan menurunkan faktor feodalisme. Perkembangan populasi penduduk yang luas
di kota-kota tersebut menyebabkan munculnya masalah kesehatan, yang secara
otomatis akan membutuhkan peran tenaga kesehatan (termasuk di dalamnya
perawat).
Kurangnya
pemeliharaan kesehatan dan sanitasi serta meningkatnya kemiskinan di daerah
pedesaan mengakibatkan munculnya masalah kesehatan yang serius pada abad kelima
belas sampai abad tuju belas. Faktor-faktor sosial, seperti hukum yang menekan
orang miskin dan pajak terhadap jendela rumah, menyebabkan menurunnya ventilasi
karena pemilik rumah menutup jendela guna menghindari membayar pajak. Hal
tersebut melahirkan suatu kondisi kesehatan yang memerlukan respon dari
perawat.
Pada
tahun 1633 dibentuklah kelompok biarawati oleh St. Vincent de paul. Kelompok
ini merawat orang-orang di rumah sakit, orang terlantar dan kaum miskin. Selanjutnya
kelompok ini terkenal luas sebagai perawat keliling karena mereka merawat orang
sakit di rumah-rumah. Pada masa ini juga mulai dirintis pendidikan keperawatan
yang dipelopori oleh Louise de Gras. Program pendidikan yang diberikan saat itu
adalah pengalaman merawat orang sakit di rumah sakit, dan juga melakukan
kunjungan rumah. (Donahue, 1995)
Peran rumah sakit terhadap perkembangan
keperawatan tidak dapat diabaikan. Setidaknya ada tiga rumah sakit yang
berperan besar terhadap perkembangan perawat pada zaman pertengahan. Pertama
Hotel Dieu di Lion, meskipun pada awalnya pekerjaan perawat dilakukan oleh para
mantan Wanita Tuna Susila (WTS) yang telah bertobat, namun rumah sakit ini
berperan besar dalam kemajuan keperawatan. Hal ini disebabkan karena tidak lama
kemudian pekerjaan perawat digantikan oleh perawat yang terdidik melalui
pendidikan keperawatan di rumah sakit tersebut. Kedua, Hotel Dieu di Paris,
dirumah sakit ini pekerjaan keperawatan dilakukan oleh kelompok agama, namun
sesudah revolusi Perancis, kelompok agama dihapuskan dan pekerjaan diganti oleh
orang-orang bebas yang tidak terikat agama. Ketiga, St. Thomas Hospital,
didirikan tahun 1123 M, di rumah sakit inilah tokoh keperawatan Florence Nightingale memulai karirnya
memperbarui keperawatan. Abad XVIII, pengembangan kota yang lebih besar membawa
penambahan jumlah rumah sakit dan memperbesar peran perawat.
Pada pertengahan abad XVIII dan memasuki
abad XIX reformasi sosial masyarakat meruba peran perawat dan wanita secara
umum. Pada masa ini keperawatan mulai dipercaya orang dan pada saat ini juga
nama Florence Nightingale. Florence
Nightingale lahir pada tahun 1820 dari keluarga kaya dan terhormat. Ia tumbuh
dan berkembang di Inggris dengan pendidikan yang cukup. Meskipun ditentang
keras oleh keluarganya, ia diterima mengikuti kursus pendidikan perawat pada
usia 31 tahun. Pecahnya perang Krim (Crimean War), dan penunjukan dirinya oleh
Inggris untuk menata asuhan keperawatan pada sebuah rumah sakit Militer milik Turki
memberi peluang baginya untuk meraih prestasi (Taylor. C., 1989). Hal ini
disebabkan karena ia berhasil mengatasi kesulitan atau masalah yang dihadapi
dan berhasil menepis anggapan negatif terhadap wanita dan meningkatkan status
perawat.
Seusai perang krim, Florence
Nightingale kembali ke Inggris. Sejarah perkembangan keperawatan di Inggris
sangat penting dipahami karena Inggris membuka jalan bagi kemajuan dan
perkembangan perawat di mana kepeloporan Florence Nightngale diikuti oleh
Negara-negara lain. Tahun 1860, Nightingale menulis Notes on Nursing: What it is and What it is not untuk masyarakat
umum. Filosofinya terhadap praktik keperawatan merupakan refleksi dari
perubahan kebutuhan masyarakat. Ia melihat peran perawat sebagai seseorang yang
bertugas menjaga kesehatan seseorang berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana
menempatkan tubuh dalam suatu status yang bebas dari penyakit (Nightingale,
1860; Schuyler, 1992). Pada tahun yang sama, ia mengembangkan program pelatihan
untuk perawat pertama kali, sekolah pelatihan Nightingale untuk perawat di St. Thomas’ Hospital di London. Konsep
pendidikan inilah yang mempengaruhi pendidikan keperawatan di dunia dewasa ini.
Kontribusi Florence Nightingale bagi
perkembangan keperawatan adalah menegaskan bahwa nutrisi merupakan satu bagian
penting dari asuhan keperawatan, meyakinkan bahwa okupasional dan rekreasi
merupakan suatu terapi bagi orang sakit, mengidentifikasi kebutuhan personal
pasien dan peran perawat untuk memenuhinya, menetapkan standar manajemen rumah
sakit, mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita, mengembangkan
pendidikan keperawatan, menetapkan dua komponen keperawatan yaitu kesehatan dan
penyakit, meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan profesi
kedokteran, dan menekankan kebutuhan pendidikan berlanjut bagi perawat (Taylor,
C. 1989).
Perang sipil (1860-1865)
menstimulasi perkembangan keperawatan di Amerika Serikat.Clara Burton, pendiri
palang merah Amerika merawat pejuang di medan pertempuran, membersihkan luka,
memenuhi kebutuhan dasar, dan menenangkan para pejuang dalam menghadapi
kematian. (Donahue, 1995). Setelah perang sipil, sekolah keperawatan di Amerika
dan Kanada mulai membentuk kurikulum sendiri mengikuti sekolah Nightngale.
Sekolah pelatihan yang pertama di Kanada, St. Catherina di Ontario didirikan
tahun 1874. Tahun 1908, Mary Agnes Snively membantu terbentuknya The Canadian National Association of Trained
Nurses, selanjutnya nama tersebut berubah menjadi The Canadian Nurses Association (CNA) pada tahun 1924. (Donahue,
1995). Tahun 1899 afiliasi Amerika dan Kanada berhenti, organisasi baru
dibentuk dengan nama American Nurses Association (ANA) pada tahun 1911.
Keperawatan di rumah sakit
berkembang pada akhir abad XIX, tetapi di komunitas, keperawatan tidak menunjukkan peningkatan
yang berarti sampai tahun 1893 ketika Lilian Wald dan Mary Brewster membuka The Henry Street Settlement, yang
berfokus pada kebutuhan kesehatan orang miskin yang tinggal di rumah
penampungan New York. Perawat yang bekerja di tempat ini memiliki tanggung jawab
yang lebih besar terhadap klien daripada mereka yang bekerja di rumah sakit,
karena mereka seringkali menghadapi situasi yang membutuhkan tindakan mandiri
dari perintah dokter. Selain itu, dalam mengobati penyakit, orang miskin
mmebutuhkan terapi keperawatan yagn ditujukan untuk memperbaiki nutrisi,
memberikan penginapan, dan mempertahankan kebersihan. Kemajuan terlihat di
rumah sakit, kesehatan masyarakat, dan pendidikan terjadi pada awal abad
keduapuluhan. Pada masa itu mulai dirintis pendidikan keperawatan di tingkat
universitas. Dengan berkembangnya pendidikan keperawatan maka praktik
keperawatan juga mengalami perluasan. Pada tahun 1901 didirika The Army Nurses
Corps, diikuti dengan berdirinya The Navy Nurses Corps pada tahun 1908.
Spesialisi keperawatan juga mulai dikembangkan. Sekitar tahun 1920-an, dibentuk
organisasi perawat spesialis, seperti Assosiation
of Operating Room Nurses (1949), American
Assosiation of Critical-Care Nurses (1969) dan Oncology Nursing Society (1975).
PERKEMBANGAN KEPERAWATAN DI INDONESIA
Tidak banyak literatur yang mengungkapkan perkembangan keperawatan di
Indonesia. Seperti perkembangan keperawatan di dunia pada umumnya, perkembangan
keperawatan di Indinesia juga dipengaruhi kondisi sosial ekonomi yaitu
penjajahan pemerintah kolonial Belanda, Inggris dan Jepang serta situasi
pemerintahan Indonesia setelah Indonesia merdeka. Perkembangan keperawatan di
Indonesia pada dasarnya dibedakan atas masa sebelum kemerdekaan dan masa
setelah kemerdekaan (orde lama dan orde baru).
Pada masa pemerintahan kolonial
Belanda perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut velpleger dengan dibantu zieken oppaser sebagai penjaga orang
sakit. Mereka bekerja pada Rumah Sakit Binnen Hospital di Jakarta yang
didirikan tahun 1799 untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha
pemerintah kolonial Belanda di bidang kesehatan pada masa itu antara lain:
Dinas Kesehatan Tentara yang dalam bahasa Belanda disebut Militiary Gezondherds Dienst dan Dinas Kesehatan Rakyat atau Burgerlijke Gezondherds Dienst. Pendirian
rumah sakit ini termasuk usaha Daendels mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya
dan Semarang, ternyata tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan yang
berarti karena tujuannya semata-mata untuk kepentingan tentara Belanda.
Ketika VOC berkuasa, Gubernur
Jendral Inggris Raffles (1812-1816) sangat memperhatikan kesehatan rakyat.
Berangkat dari semboyannya “Kesehatan adalah milik manusia”, ia melakukan
berbagai upaya memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi. Tindakan yang
dilakukan antara lain: pencacaran umum, membenahi cara perawatan pasien dengan
gangguan jiwa serta memperhatikan kesehatan dan perawatan para tahanan.
Setelah pemerintahan kolonial
kembali ke tangan Belanda, usaha-usaha peningkatan kesehatan penduduk mengalami
kemajuan. Di Jakarta tahun 1819 didirikan beberapa rumah sakit, salah satu
diantaranya adalah Rumah Sakit Stadsverband berlokasi di Glodok (Jakarta
Barat). Pada tahun 1919 rumah sakit ini dipindahkan di Salemba dan sekarang
bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat ini RSCM menjadi pusat
rujukan nasional dan pendidikan nasional. Dalam kurun waktu ini (1816-1942),
berdiri pula beberapa rumah sakit swasta milik katolik dan protestan, misalnya:
RS Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini-Jakarta Pusat, RS St. Carolus
Salemba-Jakarta Pusat, RS St. Boromeus di Bandung dan RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan dengan
berdirinya rumah sakitdi atas, didirikan sekolah perawat. RS PGI Cikini tahun
1906 menyelenggarakan pendidikan juru rawat, kemudiam RSCM menyelenggarakan
pendidikan juru rawat tahun 1912.
Kekalahan tentara sekutu dan
kedatangan Jepang (1942-1945) menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami
kemunduran. Bila renaissance berakibat buruk pada perkembangan keperawatan
Inggris, maka penjajaan Jepang merupakan masa kegelapan dunia keperawatan di
Indonesia. Pekerjaan perawat pada masa Belanda dan Inggris sudah dikerjakan
oleh perawat yang terdidik, sedangkan pada masa Jepang yang melakukan tugas
perawat bukan dari orang yang sudah dididik untuk menjadi perawat. Pemimpin rumah sakit juga diambil alih
dari orang Belanda ke orang Jepang. Pada saat itu obat-obatan sangat minim,
sehingga wabah penyakit muncul dimana-mana. Bahan balutan juga terbatas,
sehingga daun pisang dan pelepah pisang digunakan sebagai bahan balutan.
Pembangunan
bidang kesehatan dimulai tahun 1949. Rumah sakit dan balai pengobatan mulai dibangun. Tahun 1952, sekolah
perawat mulai didirikan, yaitu Sekolah Guru Perawat dan Sekolah Perawat tingkat
SMP. Pendidikan keperawatan profesional mulai didirikan mulai tahun 1962 dengan
didirikannya Akademi Keperawatan milik Departemen Kesehatan di Jakarta untuk
menghasilkan perawat profesional pemula. Hampir bersamaan dengan itu didirikan
pula Amper milik Depkes di Ujung Pandang, Bandung dan Palembang.
Di Indonesia, keperawatan telah mencapai
kemajuan yang sangat bermakna bahkan merupakan suatu lompatan yang jauh
kedepan. Hal ini bermula dari dicapainya kesepakatan bersama pada Lokakarya
Nasional Keperawatan pada bulan Januari 1983 yang menerima keperawatan sebagai
pelayanan profesional (profesional service) dan pendidikan keperawatan sebagai
pendidikan profesi (professional education). Dalam Lokakarya Keperawatan tahun
1983, telah dirumuskan dan disusun dasar-dasar pengembangan Pendidikan Tinggi
Keperawatan. Sebagai realisasinya disusun kurikulum program pendidikan D-III
Keperawatan, dan dilanjutkan dengan penyusunan kurikulum pendidikan Sarjana
(S1) Keperawatan.
Pengembangan pelayanan keperawatan profesional tidak dapat
dipisahkan dengan pendidikan profesional keperawatan. Pendidikan keperawatan
bukan lagi merupakan pendidikan vokasional/kejuruan akan tetapi bertujuan untuk
menghasilkan tenaga keperawatan yang menguasai ilmu keperawatan yang siap dan
mampu melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan profesional kepada masyarakat.
Jenjang pendidikan keperawatan bahkan telah mencapai tingkat Doktoral. Pendidikan
tinggi keperawatan diharapkan menghasilkan tenaga keperawatan profesional yang
mampu mengadakan pembaruan dan perbaikan mutu pelayanan/asuhan keperawatan,
serta penataan perkembangan kehidupan profesi keperawatan. Perkembangan
keperawatan bukan saja karena adanya pergeseran masalah kesehatan di
masyarakat, akan tetapi juga adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi keperawatan serta perkembangan profesi keperawatan dalam menghadapi
era globalisasi.
Pendirian
Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) pada tahun 1985 merupakan momentum
kebangkitan profesi keperawatan di Indonesia. Sebagai embrio Fakultas Ilmu
Keperawatan, institusi ini dipelopori oleh tokoh keperawatan Indonesia, antara
lain Achir Yani S, Hamid, DN.Sc; mendiang Dra. Christin S Ibrahim, MN, Phd;
Tien Gartinah, MN dan Dewi Irawaty, MA, dibantu beberapa pakar dari Konsorsium
Ilmu Kesehatan dan sembilan pakar keperawatan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Pada tahun 2000 mulai muncul Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) diberbagai
Universitas di Indonesia (Universitas Airlangga, Universitas Gajah Mada,
Universitas Hasanudin, Universitas Andalas dan Universitas Sumatra Utara).
Tahun
1974 tepatnya tanggal 17 Maret didirikan Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI). Sebagai fusi dari beberapa organisasi keperawatan yang ada sebelumnya,
PPNI mengalami beberapa kali perubahan bentuk dan nama organisasi. Embrio PPNI adalah
Perkumpulan Kaum Verpleger Boemibatera (PKVB) tahun 1921. Pada saat itu profesi
perawat Sangat dihormati oleh masyarakat berkenaan denga tugas mulia yang
dilakukan dalam merawat orang sakit. Lahirnya sumpah pemuda 1928, mendorong
perubahan nama PKVB menjadi Perkumpulan Kaum Verpleger Indonesia (PKVI).
Pergantian nama ini berkaitan dengan semangat nasionalisme . PKVI bertahan
sampai tahun 1942 berhubungan dengan kemenangan Jepang atas sekutu.
Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, tumbuh organisasi profesi keperawatan. Tiga organisasi profesi
yang ada antara tahun 1945-1954 adalah Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia
(PDKI), Persatuan Djuru Rawat Islam (Perjurais) dan Serikat Buruh Kesehatan
(SBK). Pada tahun 1951 terjadi pembaharuan organisasi profesi keperawatan yaitu
terjadi fusi organisasi yang ada menjadi Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI)
sebagai upaya konsolidasi organisasi profesi tanpa mengikutsertakan SBK karena
terlibat pada pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kurun
waktu 1951-1958 diadakan kongres di Bandung dan mengubah nama PDKI menjadi
Persatuan Pegawai Dalam Kesehatan (PPDK) dengan keanggotaan bukan hanya dari
perawat. Tahun 1959-1974 terjadi pengelompokan organisasi keperawatan antara
lain Ikatan Perawat Wanita Indonesia (IPWI), Ikatan Guru Perawat Indonesia
(IGPI) dan Ikatan Perawat Indonesia (IPI) tahun 1969. Akhirnya tanggal 17 Maret
1974 seluruh organisasi keperawatan kecuali Serikat Buruh Kesehatan bergabung
menjadi satu organisasi profesi tingkat
nasional dengan nama Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Nama
inilah yang secara resmi dipakai sebagai nama organisasi profesi keperawatan
Indonesia hingga kini.
Refrensi :
Ns. Doddy Wijaya M.Kep, S.Kep
0 komentar:
Posting Komentar